Sebagai anak kos dengan jatah
perbulan yang pas–pasan, dapat makan gratis alias gak bayar itu rasanya
sesuatuuu banget. Apalagi jika hal itu terjadi selama berhari–hari, Alhamdulillah yaah. Coba tiap hari bisa
gini, beberapa bulan lagi pasti SLR sudah erat digenggaman tangan, fiuuh.
Semua berawal dari hari raya kurban,
10 Dzulhijah 1432 H. Selesai sholat ied
di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), kami tak segera pulang ke kos,
melainkan bernarsis-narsis ria di area kampus unmuh. Tumben, bukan aku yang
jadi fotografer, aseek, ada Alif yang
lagi demen sama kamera. Oh iya, sekedar info aja,
kenapa aku sholatnya di unmuh, soalnya kostku di daerah Sengkaling. Jauuuh dari
UB.
Dalam perjalanan pulang, kita ‘ngrampok’ buah
murbei dulu, udah izin kog sama yang punya.
Minggu pagi bikin mie 3 bungkus, sumbangan dari Mbak Reni (jadi,
Mbak Reni itu punya persediaan mie satu kardus, siapa yang mau tinggal ambil, free).
Siangnya makan opor ayam hasil masakan bersama.
Meski kami bukan warga asli di Perumahan Muara Sarana Indah,
Sengkaling tapi kami dapat bagian daging kurban lho, soalnya deket
sama masjid, gak tanggung–tanggung, 2 kantong kresek. Ditambah lagi daging dari
Mbak April yang pulang kampung dari Bojonegoro.
Senin, makan malam ronde pertama sama nasi anget + daging & hati
sapi goreng + sambel + wedang jahe bikinanku sendiri. Malamnya Mbak Depi pulang
dari Blitar, bawa pisang goreng leziiz + black forest.
Jam 10 malam Mbak Reni dan Mbak Ula’ pulang bawa srundeng + sayur tewel, yeay,
makan malam ronde kedua hahaha.
Selasa, makan sama soto daging bikinan sendiri, sumpah enak
banget, gak goroh suwer, btw habis berapa mangkok
ya? Hahaha.
Rabu, traktiran ultahnya
Irsyah di Ocean Garden. Menunya bebek bakar Pontianak + gurameh asam manis +
cah jamur tiram + urap–urap + jus durian. Pulang ke kos, ternyata sisa daging
kurban dimasak rawon, makan lagi *eluselusperut.
Kamis, buka puasa sama srundeng + telur asin + semurnya ibu kos +
tumis kangkungnya Mbak Irma. Nikmatnya.
Jum’at, ronde pertama, srundeng + telur asin. Ronde kedua, bakar
sate di depan kos. Dibantu Mas Hardi, pujaan hatinya Mbak Irma. Wah, aku ini kog 'rasis' banget yak, si Alif yang notabene
orang Surabaya, ngipasi sate kog kayak 'ngamuk' sampai-sampai bunga
apinya meloncat kemana-mana. Sementara, Mas Hardi yang satu daerah sama
aku, ngipasinya 'lembut' banget, lalu kubilang "Yoo piye yoo, tiyang Jawa
Tengah gitu looh" hehe, piss, becanda kog. Ronde ketiga, jam 10
malem, nggado ceker sama kepala ayam + ubi manis
cilembu.
Jadi, sebenernya inti sari cerita geje diatas adalah bahwa
kebersamaan itu sangat berarti. Dimulai dari belanja kepasar bersama, masak
dengan racikan “antah berantah” tapi hasilnya luar biasa (apalagi soto
dagingnya, joss gandos, chef Alif). Bisa aja sih beli opor atau
sate tanpa harus bersusah payah di dapur, tapi tidak ada warung yang menjual
‘kebersamaan’. Setiap proses yang terlewati diselingi dengan guyon. Saat–saat yang berharga,
tak ketinggalan Canon-ku yang turut ambil bagian dalam mengabadikan setiap moment. Semua ini akan kita
rindukan di suatu hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan.
0 komentar:
Post a Comment
Blog ini bukan toilet umum kog, jadi boleh banget kalau kamu ninggalin jejak disini (๑'⌣'๑)